Beranda | Artikel
Nazar Dalam Mimpi?
Sabtu, 20 Februari 2021

Nazar Dalam Mimpi?

Ustadz, kami pernah bermimpi bahwa kami melakukan nazar di dalam mimpi, untuk menyembelih sapi jika anak telah menikah dan tidak terkena mara bahaya. Dan ini sapi alhamdulillah sudah terlanjur terbeli. Bagaimana menyikapi nazar seperti ini?

Hamba Allah, di Sumsel

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala rasulillah wa ba’du.

Pertama, kita pahami terlebih dahulu apa syarat nazar.

Untuk dihukumi sah, nazar disyaratkan harus diucapkan dengan lisan. Di dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 156139,

لأن النذر لا ينعقد بمجرد النية، بل لا بد فيه من التلفظ باللسان

“Nazar tidak sah hanya sebatas niat dalam hati. Untuk sah, harus diucapkan dengan lisan.”

Nazar dalam mimpi tentu tidak bisa disebut nazar. Karena seorang tidak mengucapkan nazar dengan lisannya, dia tidak sedang dalam kondisi sadar. Sehingga tidak perlu dihiraukan. Karena mimpi tidak bisa dijadikan dasar suatu amalan. Menjadikannya dasar amal shalih adalah akar kebid’ahan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi.

Kecuali jika saat terbangun dengan sadar dia mengucapkan nazar dengan lafadz yang tegas, seperti: “saya bernazar kalau anak saya bla bla….saya mau menyembelih sapi.” Atau ungkapan semakna, tidak ada lafadz khusus dalam bernazar.

Kedua, kenali jenis nazarnya.

Jika memang sudah terbukti bahwa mimpi itu telah menjadi nazar yang diucapkan lisan dalam kondisi sadar, mari kita kenali dua macam nazar berikut. Masuk ke nazar jenis manakah nazar yang disampaikan pada pertanyaan di atas?

  1. Nazar mutlak.

Yaitu nazar yang tidak dikaitkan dengan syarat, harapan, atau tercapainya sesuatu.

  1. Nazar muqoyyad.

Yaitu nazar yang dikaitkan dengan syarat, harapan, atau tercapainya sesuatu.

Nazar yang disebutkan di atas, tergolong nazar jenis kedua ini. Karena dikaitkan dengan tercapainya sesuatu berupa terhindar dari mara bahaya setelah anak menikah. Untuk nazar muqoyyad, seorang wajib menunaikan nazarnya di saat harapan tersebut telah tercapai.

Dalam kitab Fikih Al-Muyassar (hal. 393) dijelaskan,

وهذا يلزم الوفاء به عند تحقق شرطه وحصول مطلوبه

“Nazar muqoyyad, wajib ditunaikan saat syarat dan harapan telah tercapai.”

Jika belum tercapai maka tidak wajib menunaikan nazar. Penunaian nazar menyembelih sapi di saat harapan tersebut belum tercapai tidak bisa dihukumi sebagai menunaikan nazar.

Ketiga, nazar tidak berpengaruh pada terkabulnya harapan.

Ada anggapan di masyarakat bahwa dengan bernazar maka harapan akan lebih mudah terkabul, ini tidak benar. Nazar tidak berkaitan sama sekali dengan terkabul atau tidaknya doa dan harapan. Jika harapan itu terkabul maka bukan nazar sebabnya. Namun karena takdir Allah ‘azza wa jalla. Dalil keterangan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ النَّذْرَ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِالنَّذْرِ مِنْ الْبَخِيلِ

“Sesungguhnya nazar tidak menyegerakan sesuatu dan tidak pula bisa menangguhkannya. Nazar ini hanya dilakukan oleh orang yang bakhil” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kami nukilkan penjelasan hadis di atas dari Fatawa Islam (islamqa, situs fatwa asuhan Syekh Sholih Al-Munajjid hafidzohullah) nomor 224709,

وبناء على هذا ؛ فالنذر لا علاقة له بتحقق أمنيتك ، وكان خيرا من ذلك أن تأخذ بالأسباب التي تحقق لك هذه الأمنية ، مع دعاء الله تعالى بتسييرها إن كانت خيرا لك ، فإن الدعاء من أعظم أسباب حصول المطلوب

“Hadis ini, menunjukkan bahwa nazar tidak ada keterkaitan dengan tercapainya harapan Anda. Yang lebih baik dari bernazar, dalam upaya menggapai harapan, adalah Anda mengupayakan sebab yang memang dapat mewujudkan harapan itu dan berdoa kepada Allah agar dimudahkan mendapatkan apa yang menjadi harapan jika memang harapan itu baik untuk Anda. Sungguh doa itu sebab yang paling manjur untuk menggapai harapan.”

Keempat, hati-hati dengan perkara takhayul dan khurafat.

Takhayul adalah kabar yang berdasarkan khayalan belaka. Oleh karenanya, orang sombong yang kagum dengan dirinya dalam bahasa Arab disebut Mukhtal atau Dzul Khuyala’. Karena dia membayangkan dirinya hebat seolah tidak ada yang menandinginya. (Lisan al-‘Arab, 11/226)

Sementara khurafat adalah berita dusta.

Sebagai keterangan Ibnul Mandzur ini,

والخُرافةُ الحديثُ الـمُسْتَمْلَحُ من الكذِبِ. وقالوا: حديث خُرافةَ

Khurafat adalah berita yang dibumbui dengan kedustaan. Masyarakat menyebut, ‘Beritanya khurafat’.

Kemudian beliau menyebutkan latar belakang istilah ini,

ذكر ابن الكلبي في قولهم حديثُ خُرافة أَنَّ خُرافةَ من بني عُذْرَةَ أَو من جُهَيْنةَ، اخْتَطَفَتْه الجِنُّ ثم رجع إلى قومه فكان يُحَدِّثُ بأَحاديثَ مـما رأى يَعْجَبُ منها الناسُ؛ فكذَّبوه فجرى على أَلْسُنِ الناس: حديث خُرافةَ

Dijelaskan oleh Ibnul Kalbi tentang pernyataan masyarakat, ‘Beritanya khurafat’ bahwa Khurafat adalah nama orang dari Bani Udzrah atau bani Juhainah. Dia pernah diculik Jin kemudian kembali ke kampungnya. Setelah itu, dia bercerita banyak tentang berbagai kejadian yang dia lihat, sehingga banyak orang terheran-heran. Sampai mereka tidak percaya dan menganggap Khurafat berdusta. Akhirnya jadi terkenal di tengah masyarakat, “Beritanya Khurafat.” (Lisanul Arab, 9/62)

(Keterangan tentang takhayul dan khurafat kami ringkas dari: https://konsultasisyariah.com)

Jika ada keyakinan bahwa nazar akan menjadi sebab terbebasnya anak dari mara bahaya, bisa masuk kategori takhayul dan khurafat sekaligus. Takhayul karena anggapan seperti itu hanya khayalan belaka yang tidak memiliki dasar ilmiyah dan syari’at. Khurafat karena keyakinan seperti itu dusta. Sisi khayal dan dustanya adalah nazar tidak berpengaruh pada terkabul dan tidaknya doa. Sebagaimana kami paparkan di poin ketiga di atas. Tentu keyakinan seperti ini haram dan dosa.

Lebih-lebih jika yang ditunaikan ternyata bukan nazar. Karena tidak terpenuhi syarat yang dijelaskan di atas:

  • Tidak diucapkan tegas oleh lisan, baru sebatas ucapan di mimpi.
  • Nazar muqoyyad yang ditunaikan sebelum harapan tercapai.

Kemudian disertai keyakinan dapat terhindar dari mara bahaya, jika menyembelih sapi yang didasari mimpi, di sebagian masyarakat seperti ini disebut “bayar niat”. Ini lebih kental nilai takhayul dan khurafatnya. Karena kalau menunaikan nazar masih ada nilai ibadah. Allah menceritakan sifat penghuni surga, di antaranya orang-orang yang menunaikan nazarnya.

يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا

Penghuni surga itu memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. (QS Al-Insan: 7)

Hanya salahnya ada di anggapan bahwa nazar dapat berpengaruh pada terkabulnya doa.

Adapun menyembelih sapi hanya karena mimpi, sama sekali bukan nazar dan tidak ada nilai ibadah. Murni amalan dan keyakinan yang dibangun di atas mimpi.

Kelima, tawasul (wasilah) agar doa terkabul.

Ada banyak macam cara tawasul agar doa lebih mustajab yang disarankan oleh Islam. Lengkapnya bisa pembaca pelajari di sini: https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html

Salah satunya adalah bertawasul dengan amal shalih. Nazar tidak berkaitan dengan terkabulnya doa. Namun seorang bisa bertawasul dengan amalan ibadah berupa menunaikan nazar. Bukan nazarnya yang menjadi tawasul tapi amal sholihnya berupa menunaikan nazar yang menjadi tawasul doa. Namun dengan catatan tebal, ini berlaku untuk nazar yang benar-benar nazar yang sah secara syariat.

Pun demikian kami tidak sarankan, jika tawasul model ini dilaksanakan, akan menimbulkan prasangka takhayul dan khurafat di masyarakat. Karena seorang muslim tidak boleh memancing prasangka tidak baik orang kepada dirinya. Atau dilakukan dengan dibubuhi keyakinan takhayul dan khurafat atau niat yang tidak baik. Jika demikian yang terjadi, kami sarankan untuk memilih cara tawasul lain yang alhamdulillah banyak. Adapun sapi yang sudah terlanjur terbeli, alhamdulillah masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya, diternak, dijual kembali, dll.

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/36856-nazar-dalam-mimpi.html